Aksi Masyarakat Palopo |
SULAWESIPERS-- Kapolres Palopo AKBP Dudung Adijono yang sempat bernegosiasi dengan massa yang memblokir jalur Trans Sulawesi diusir oleh warga. Orang nomor 1 di Polres Palopo itu bahkan dilempar menggunakan batu, Rabu (25/5/2016).
Pengusiran tersebut dilandasi kekesalan warga yang ingin di digusur oleh Pengadilan Negeri Palopo dari tanah seluas 25,5 hektare di Keluharan Sampoddo, Kecamatan Wara Selatan, Kota Palopo.
"Mulai memanas, tadi kami dilempar batu dan diusir saat mencoba untuk bernegosiasi," kata Dia di lapangan kejadian.
Dalam aksinnya masyarakat menebang pohon kemudian dibentangkan di jalan raya untuk menghalau tim eksekusi dari Pengadilan Negeri Palopo. Akibat dari hal itu membuat kemacetan selama 10 jam di wilaya tersebut.
Juru bicara warga, M Akib, saat ditemui di lokasi sengketa, menuturkan, pihaknya mengancam, kalau betul-betul dilakukan eksekusi, maka pihaknya tidak akan rela memberikan tanah yang dianggap tanah warisan nenek moyang mereka.
"Kalau terjadi dieksekusi, maka akan terjadi revolusi di Luwu Raya. Jangan coba-coba. Sudah ratusan tahun nenek moyang kami memiliki ini. Siapkan kuburan 1.000 orang kalau mau dieksekusi. Kami ada 120 KK yang tinggal disini," tandasnya.
Terpisah, Ketua PN Palopo, Albertus Usada, SH, MH, menuturkan, jika pihaknya tidak pernah menyembunyikan putusan. Menurutnya, tudingan tersebut tidaklah benar.
"Jadi kami tegaskan, tidak ada putusan yang disembunyikan. Tidak ada putusan yang bertentangan satu sama lain. Tidak ada mafia hukum dan tanah. Itu semua fitnah dan tidak benar," ujarnya, di depan wartawan.
Soal Sayyid Ahmad yang disebut-sebut sebagai warga asing, Arab, ia mengaku pihaknya tidak bisa lagi menguji itu, karena sudah ada putusan dan pasti sudah dilakukan pengkajian.
"Saya juga sebenarnya berempati terhadap tergugat. Tapi ini perintah putusan, kalau kami tidak lakukan eksekusi, maka akan terjadi preseden buruk penegakan hukum," tandasnya.
Ia juga menegaskan, dari 11 putusan, tidak ada putusan yang bertentangan satu sama lain. Berikut kronologi gugatan sengketa lahan di Sampoddo.
Periode I: Tahun 1982 - 1995
Penggugat : Lahami dan Nurhana
Tergugat : Embong Cs (13 orang)
Objek : Tanah sawah 15 hektar dan kebun kelapa bersama 146 pohon kelapa
Gugatan Penggugat ditolak sampai MA
Periode II : Tahun 1982-1991
Penggugat : Lahami dan Nurhana
Tergugat : Ali Tanjung Cs (14 orang) muncul nama baru.
Objek : Tanah sawah 15 hektar dan kebun kelapa dengan pohon kelapa 240 batang (sebelumnya 146 pohon)
Gugatan Penggugat ditolak sampai MA
Periode III : Tahun 1992
Penggugat : Lahami, Nurhana, Nure, dan Andi Malloroseng.
Tergugat : Ali Tanjung Cs (34 orang tergugat) muncul nama baru.
Objek : Tanah sawah 10 hektar (sebelumnya 15 hektar)
Gugatan Penggugat ditolak dan hanya berproses sampai PN Palopo.
Periode IV : Tahun 1993 - 2009
Penggugat : M Nur Cs (Lahami, Nurhana, Andi Malloroseng)
Tergugat : Ali Tanjung Cs (45 orang tergugat) dan Hj Marawia, Djafar, dan Mustaring (turut tergugat 44 - 48 orang)
Objek : Lahan seluar sekitar 25,5 hektar.
Penggugat dimenangkan mulai dari PN sampai tingkat MA.
Setelah akan dieksekusi 2007 silam, maka terjadi dinamika surat menyurat ke MA. Sehingga proses eksekusi terhambat, dan baru muncul lagi 2016 ini.
Kejanggalan sengketa versi warga :
- Putusan MA yang dimenangkan warga (tergugat) nomor 783K/PDT/1990 disembunyikan oleh PN Palopo selama 12 tahun.
- Pemeriksaan sempat dibuat sendiri penggugat dan dikesampingkan oleh majelis hakim.
- Ada nota pembelian penggugat yang palsu. Sebab dalam nota tertulis F.750 tahun 1928 (toejoeh ratoes lima poeloeh roepiah). Sedangkan kita ketahui bersama, mata uang rupiah belum berlaku pada saat itu. 32 tahun kemudian barulah rupiah berlaku di Indonesia. Seharusnya toejoeh ratoes lima poeloeh golden. Tapi ini diterima saja dan tidak dikesampingkan majelis hakim.
- Ayah penggugat diketahui adalah orang asing, asal orang Arab, yang diklaim membeli tanah milik pribumi. Ini bertentangan dengan UU pokok agraria nomor 5 tahun 1960, bahwa tanah milik pribumi tidak dapat dialihkan kepada golongan asing.
- Batas-batas lahan tidak jelas dan tidak dicantumkan dalam putusan pengadilan.
- Perkara ini merupakan perkara ulangan (ne bis in idem) sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
- Orangtua penggugat dinilai tidak mungkin punya lahan seluas 25,5 hektar, karena ia hanya seorang pemanjat kelapa (miskin). Warga menilai keturunan bangsawan tidak punya lahan seluas itu dalam satu lokasi.
0 Response to "Kapolres Palopo Di Usir Warga Pakai Batu"
Posting Komentar