Ilustrasi |
SULAWESIPERS-- Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah masih setengah hati untuk memperketat pencegahan praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah.
Di satu sisi, Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang disetujui menjadi UU, Kamis (2/6), mengatur sanksi berat bagi pelaku politik uang. Di sisi lain, didapati aturan yang melegalkan pemberian uang dan hadiah untuk peserta kampanye terbatas.
Sanksi berat hingga pembatalan calon kepala daerah-wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 73 Ayat (2) UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Prosedur penjatuhan sanksi bagi pelaku politik uang juga dipermudah.
Sanksi pembatalan pencalonan dapat diputuskan langsung oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Di UU sebelumnya, sanksi baru dapat dijatuhkan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Larangan calon dan tim kampanye menjanjikan dan memberikan uang atau materi lainnya kepada penyelenggara pilkada serta pemilih juga diatur secara tegas dalam pasal 73 ayat (1).
Namun, larangan itu tak berlaku untuk biaya transportasi dan hadiah bagi peserta kampanye terbatas. Pengecualian itu diatur dalam penjelasan pasal 73 ayat (1) yang menyebutkan pemberian biaya makan-minum, transportasi, bahan kampanye, serta hadiah lain tidak termasuk politik uang.
"Kalau ada pertemuan, calon kepala daerah memberikan sumbangan, menanggung biaya makan, lalu memberikan uang transpor untuk mereka pulang, itu bukan money politics," kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman seusai rapat paripurna persetujuan RUU Pilkada menjadi UU, kemarin.
Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, uang makan, transportasi, dan sumbangan dilegalkan agar pelaksanaan kampanye lancar. "Masyarakat, kan, sudah meninggalkan pekerjaan untuk mengikuti kampanye. Masa, makan saja tidak dapat? Lalu uang transpor untuk pulang ke rumah saja tidak dapat?" kata Rambe.
Tidak Rasional
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai, diperbolehkannya pemberian uang transportasi, biaya makan, dan hadiah dalam kampanye menunjukkan kurang seriusnya pembuat UU dalam mencegah praktik politik uang. Politik uang justru dilegalkan dengan dalih uang makan dan transportasi. Apalagi, parameter nilai uang tidak jelas, hanya disebutkan berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan di suatu daerah. Ketentuan itu pun dianggap tidak mendidik masyarakat untuk berdemokrasi dengan baik.
Ketentuan itu juga membuat Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Masykurudin Hafidz, ragu sanksi bagi pelaku politik uang dapat diberlakukan. "Kalau aturannya begitu, bisa tidak jalan sanksi administrasi untuk politik uang," ujarnya.
Titi dan Masykurudin berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur lebih ketat soal uang transpor dan hadiah untuk peserta kampanye. Misalnya, melarang pemberian dalam bentuk tunai.
Anggota Bawaslu, Nasrulloh, mengatakan, banyak hal yang berubah di UU Pilkada baru terkait tugas dan kewenangan lembaganya. Selain kewenangan menjatuhkan sanksi, format penyelesaian sengketa administrasi dan sentra penegakan hukum terpadu juga berubah. Pihaknya membutuhkan waktu untuk mempelajari, mendiskusikan dengan DPR, pemerintah, akademisi, dan ahli pilkada sebelum merumuskan peraturan Bawaslu sebagai turunan UU Pilkada.
Terkait hal tersebut, pihaknya berharap pemerintah segera mengundangkan regulasi baru tersebut agar proses pembuatan aturan turunan bisa segera dimulai. Harapan serupa diungkapkan Komisioner KPU, Hadar Navis Gumay.
Koran Kompas Hal 14 edisi 3 Juni 2016
0 Response to "Pemerintah Setengah Hati Cekal Politik Uang Dalam Pilkada"
Posting Komentar